Sabtu, 26 September 2015

Kisah Heroik Wanita Yahudi Israel menolong orang-orang yang membenci Negaranya

Sebuah Kisah Kemanusiaan yang Heroik dari seorang wanita yang menolong orang-orang yang sangat membenci negaranya.

KEHENINGAN malam di Laut Hitam terpecah, saat satu perahu karet berukuran kecil yang penuh disesaki pengungsi Suriah dan Afganistan hendak mendarat di pantai kerikil tandus, Pulau Lesbos, Yunani.

Namun, bisingnya teriakan histeris pengungsi yang meluapkan kegembiraan mereka karena bisa selamat sampai ke Eropa, seketika berubah menjadi dengung kasak-kusuk cemas.
Para pengungsi tampak ketakutan ketika melihat sejumlah orang yang tergesa-gesa menuju perahu yang tampak limbung itu: mereka orang-orang Yahudi Israel.

"Apakah ada yang memerlukan dokter? Apakah ada yang memerlukan dokter? saya seorang dokter, jangan takut," teriak Majeda Kardosh berulang-ulang kepada para pengungsi yang masih tampak terbengong-bengong.


Majeda (27), wanita perawat dari Nazareth, Israel, tersebut terus menghampiri satu per satu pencari suaka yang baru saja mempertaruhkan nyawa menyeberang dari Turki menuju Yunani.
Tak jauh dari tempat Majeda, seorang wanita terburu-buru menceburkan diri ke laut. Ia terendam air laut yang dingin hingga ke pinggang.
Ia mendekati perempuan yang baru berusia 4 tahun, lantas memasangkan balon pelampung agar tak tenggelam. Wanita tersebut adalah  Tali Shaltiel (31), psikolog dari Jerusalem, Israel.

"Tidak apa-apa gadis manis, tidak apa-apa. Kau kini aman. Lihatlah, ada tenda, di dalamnya ada coklat dan boneka yang akan menemanimu istirahat. 
Mari, ikuti aku ke sana," tutur Tali kepada gadis cilik tersebut.

Majeda dan Shaltiel adalah dua dari satu grup kecil relawan yang tergabung dalam IsraAID, yakni lembaga swadaya masyarakat berbasis di Israel.
Mereka terlatih untuk memberikan bantuan pengobatan bagi imigran dan pencari suaka dari daerah yang dikuasai gerombolan teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Tak hanya itu, IsraAID juga terlibat langsung dalam program kemanusiaan di 31 negara. Persisnya sejak tahun 2011, yakni saat bencana gempa dan tsunami di Jepang, hingga pengobatan warga Afrika Barat yang terserang wabah Ebola.

Uniknya, 31 negara yang didatangi relawan IsraAID tersebut merupakan musuh tradisional, bahkan masih ada yang berstatus perang melawan Israel.

Namun, bagi relawan seperti Shaltiel, semua rekam jejak gemilang IsraAID tersebut tak berarti apa pun.
" Anda bertemu sesama manusia," katanya. "Anda lihat penderitaan dan rasa sakit, Anda melihat kebutuhan. Kami tak peduli apa pun agama mereka dan dari mana mereka berasal, karena kita saemua manusia," tutur Shaltiel kepadaTimesofisrael.com, Rabu (23/9/2015).
Meski begitu, Shaltiel mengakui, pengungsi dari Suriah, Irak, Afganistan, dan Pakistan, yang menjadi fokus kerja mereka kekinian, tampak tidak percaya kepada para relawan.
"Biasanya, ketika kali pertama bertemu, wajah mereka menampakkan rasa tak percaya. 
Kami memang memakai baju IsraAID dan berbasa Ibrani, tapi hasrat kami di sini hanya ingin memberikan bantuan antarmanusia," tutur Shaltiel, yang juga mengajukan diri menjadi relawan ke Sudan Selatan ini.
Majeda juga mengamini pernyataan rekannya tersebut.

"Meskipun di baju kami ada lambang Bintang Daud (lambang Israel), sebagian besar pengungsi tak menyadari hal itu karena mereka dalam kondisi tak menentu. Beruntung saya bisa berbahasa Arab, itu memudahkan kami menolong mereka," tukasnya.
Ia mengatakan, kebanyakan pengungsi Suriah, Irak, maupun Afganistan tak mempersoalkan para relawan Yahudi Israel.
Namun, Majeda juga mengakui, ada sejumlah pengungsi yang tidak menyukai keberadaan mereka.
Ia menceritakan, pernah ada pria pengungsi Suriah bertanya kepadanya memakai bahasa Arab, "Katakan kepadaku, apakah wanita itu Yahudi?" tanya lelaki itu sembari menunjuk Shaltiel.
"Aku katakan kepadanya, benar, wanita itu bernama Shaltiel, teman saya, dan Yahudi Israel. Saya juga mengatakan kepadanya, saya juga Yahudi Israel yang beruntung bisa berbahasa Arab," bebernya sembari tersenyum.
Majeda tak mempersoalkan adanya kecurigaan warga Arab kepada relawan Yahudi seperti dirinya.
Ia menilai kecurigaan tersebut bukanlah alasan yang menghalangi mereka untuk menolong sesama manusia yang sedang memerlukan pertolongan.

Kejadian seperti ini memang jarang diketahui oleh dunia karena selama ini pemberitaan di setiap media massa yang selalu memberitakan israel selalu agresif terhadap palestina.

Yang menjadi persoalan adalah bahwa kejadian ini merupakan akibat dari tindakan ISIS yang hendak melebarkan sayapnya sehingga siapapun yang tidak mendukung mereka akan dihabisi dan dibantai dengan sadis.

ISIS atau Kelompok Islam yang bertujuan ingin mendirikan Negara Islam dibawah satu pemerintahan atau yang mereka katakan Khalifah telah menjadi musuh bersama semua negara, terutama negara-negara barat, karena dalam setiap tindakannya selalu mengutamakan senjata dan kekerasan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar