Sudah menjadi Rahasia umum Praktik dugaan
pemerasan oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan terhadap gereja-gereja di khawatirkan akan terus berlanjut di seluruh Indonesia selama
pemerintah tidak serius menyelesaikan kasus-kasus seputar izin pendirian tempat
ibadah.
Hasil pertemuan Komnas
HAM dengan sejumlah pimpinan gereja di Bandung, Jumat (03/06/2016), menyebutkan ada
beberapa ormas yang diduga memeras beberapa gereja di sekitar kota Bandung
dengan dalih bangunan tempat ibadah itu tidak berizin.
Kepada BBC Indonesia,
seorang pemimpin gereja di Bandung mengaku pernah diperas hingga sekitar Rp200
juta oleh orang-orang yang tergabung dalam ormas berlabel agama.
Menurut Komnas HAM,
kasus pemerasan seperti itu akan terus berlanjut apabila pemerintah tidak mampu
bersikap tegas menghadapi kelompok-kelompok antitoleran yang main hakim
sendiri, kata Komnas HAM.
Berkali-kali didemo sehingga gereja sempat tidak bisa dipakai. Dan pada akhir 2015, justru ormasnya datang dan minta Rp200 juta supaya gereja bisa difungsikan. “Tokoh sebuah gereja Bandung”
"Poin yang ingin
diungkap oleh Komnas HAM adalah bahwa ketidaktegasan pemerintah terhadap aksi
main hakim sendiri oleh kelompok intoleran itu berbuntut pada aksi premanisme,
pemerasan dan kejahatan yang lain," kata komisioner Komnas HAM, Imdadun
Rahmat, Senin (06/06/2016) sore.
Lebih lanjut dia
mengatakan sikap pemerintah daerah dan pusat yang "membiarkan status"
sebagian gereja-gereja tanpa izin ikut menyuburkan praktik pemerasan.
Karena itu, Komnas HAM
meminta pemerintah melakukan langkah simultan untuk mendampingi pimpinan gereja
untuk mengurus izinnya.
"Mana yang
memenuhi perizinan segera diterbitkan izinnya, mana yang belum (keluar izinnya)
ditanya kesulitannya apa dan dibantu bagaimana cara memenuhi
persyaratannya," papar Imdadun.
Pengakuan
gereja yang diperas
Komnas HAM menolak
menyebutkan nama gereja dan ormas yang dituduh melakukan pemerasan, tetapi
hasil penelusuran BBC Indonesia mengungkapkan salah-satu gereja yang menjadi
korban pemerasan adalah Gereja Batak Karo Protestan, GBKP Bandung Timur.
Bangunan gereja itu
terletak di Jalan Kawaluyan, Kecamatan Buah Batu, Bandung, Jabar.
Walaupun mengaku telah
mendapatkan izin sejak empat tahun silam, pimpinan gereja itu mengaku beberapa
kali didemo oleh sejumlah ormas yang menuding izin pembangunan gereja tidak
sah.
"Berkali-kali didemo sehingga gereja sempat tidak bisa dipakai. Dan pada akhir 2015, justru ormasnya datang dan minta Rp200 juta supaya gereja bisa difungsikan," kata seorang tokoh gereja Bandung yang mengalaminya, kepada BBC Indonesia, Senin (06/06) malam.
Ia mengaku menolak
memenuhi tuntutan sekelompok orang itu. "Permintaan itu tidak logis dan
tentu tidak ada jaminan, apakah nanti tidak kita diperas lagi," tandasnya.
Ormas
Garis membantah
Penolakan itu,
lanjutnya, membuat mereka kembali didemo oleh orang-orang yang melakukan
pemerasan serta beberapa ormas lainnya. "Tanggal 10 April lalu mereka demo
lagi, mereka seperti mau menanamkan kebencian kepada warga sekitar
gereja," ungkap sang tokoh gereja itu lagi.
Sumber BBC Indonesia
menyebutkan salah-satu ormas yang diduga terlibat pemerasan beberapa gereja di
sekitar Bandung adalah Gerakan Reformasi Islam atau Garis.
Tetapi salah-seorang
pimpinan Gerakan Reformasi Islam, Afif Koswara membantah tuduhan pihaknya
memeras pimpinan gereja GBKP Bandung Timur.
"Tidak benar itu. Enggak ada peras-memeras. Enggak benar itu," kata Afif kepada wartawan
BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui sambungan telepon, Senin (06/06) malam.
Menurutnya, selama ini
pihaknya hanya menggelar unjuk rasa di depan gereja GBKP Bandung Timur karena
menuding izin pembangunan gereja itu tidak sah.
Sikap
Polda Jabar
Kepolisian Jawa Barat
meminta Komnas HAM dan pimpinan gereja untuk melaporkan kasusnya sehingga
mereka bisa menindaklanjutinya.
"Komnas HAM sudah
berani mengungkap ada gereja yang diperas, ada ormas yang memeras, sebutkan
saja siapa mereka. Laporkan saja kepada kami," kata Kepala humas Polda Jabar,
Komisaris besar Yusri Yunus.
Pendeta dan ketua
majelis jemaat GBPK Bandung Timur, Sura Purba mengaku pihaknya kesulitan
mengadukan kasus pemerasan karena minimnya bukti-bukti. "Kerja mereka rapi
sekali," ungkapnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Masalah keamanan juga
menjadi pertimbangan dirinya tidak melaporkannya ke polisi. "Mereka akan
terus menganggu kita. Kadang-kadang bagus didiamkan saja," aku Sura.
Tetapi, komisioner
Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan concern pihaknya
bukan pada masalah pemerasan, tetapi lebih kepada apa yang disebutnya sebagai
ketidaktegasan pemerintah terhadap aksi main sendiri oleh kelompok intoleran.
"Penggunaan
kekuasaan seperti menyegel (bangunan tempat ibadah tidak berizin) itu otoritas pemerintah,
dan tidak boleh diambil oleh ormas. Harus ada penegakan hukum," kata
Imdadun.
Izin
seharusnya disederhanakan
Sementara, peneliti
lembaga pemerhati hak asasi manusia, Setara, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan
pemerasan oleh ormas terhadap gereja dengan dalih perizinan bukanlah hal baru.
Pihaknya mengaku pernah
mendapat laporan kasus pemerasan terhadap sebuah gereja di kawasan Bintaro,
Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Kasus gereja Toraja di
kawasan Bintaro, menurutnya, dilatari kesulitan pihak gereja untuk mendapatkan
izin mendirikan bangunan (IMB). "Mereka kemudian didekati sebuah ormas
yang menjanjikan untuk urus IMB," katanya.
"Akhirnya IMB
berhasil didapatkan, seolah ormas itu menunjukkan mereka bertoleransi terhadap
umat lain. Tetapi biaya yang dikeluarkan hampir Rp100 juta," ungkap Bonar.
Menurut Bonar, praktik
pemerasan ini bisa terjadi karena dilatari keberadaan Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang pendirian
tempat ibadah.
"Karena kesulitan
mendapatkan dukungan tanda tangan, dan tidak mendapat dukungan lurah, misalnya,
sangat mungkin kemudian ada yang mengambil jalan pintas," katanya.
Dalam peraturan itu
pendirian tempat ibadah antara lain harus didukung masyarakat setempat, yaitu
paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh pimpinan desa, selain pengguna rumah
ibadah minimal 90 orang.
Kemudian harus ada
rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama setempat dan rekomendasi
tertulis forum kerukunan umat beragama (FKUB) kota setempat
"Sangat birokratis
dan akibatnya, tidak hanya ketat, kemungkinan pada level tertentu akan ada
intervensi pihak lain," tambah Bonar.
Karena itulah dia mengusulkan
izin pendirian tempat ibadah dipermudah menjadi dua syarat. "Yaitu jumlah
jemaat lebih dari cukup dan lokasi rumah ibadah sesuai tata ruang."
Tanggapan
Kementerian agama
Terlepas dari kasus
pemerasan gereja di Bandung, Dirjen bimas Kristen Odita Hutabarat mengaku
"ada semangat teman-teman Kristen memang besar sekali untuk mendirikan
tempat ibadah".
"Tetapi kita punya
regulasi," kata Odita sata dihubungi BBC Indonesia, Senin malam.
"Jadi, kadang-kadang ada teman-teman dari gereja tertentu belum memenuhi
sesuai regulasi itu."
Regulasi itu adalah
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun
2006 tentang pendirian tempat ibadah.
"Mereka akan
merasa sulit karena tidak memenuhi aturan itu,"tambahnya.
Menanggapi usulan agar
regulasi itu disederhanakan, Odita mengatakan bisa saja itu dilakukan karena
alasan situasi dan lokasi rencana pendirian gereja. "Tetapi peraturan itu
disepakati semua pihak sebelum akhirnya dilegalkan," paparnya.
Tentang adanya anggapan
sebagian umat Kristen yang merasa didiskriminasikan terkait izin pendirian
tempat ibadah, Odita mengatakan "pertumbuhan gedung gereja cukup
signifikan yang mendapat izin."
Kasus
per kasus
Menyinggung penolakan
ormas tertentu terhadap pendirian gereja, Odita meminta melihatnya kasus per
kasus. "Tidak bisa menyama-ratakan kasus. Bisa saja itu terjadi di
berbagai tempat dan penolakan itu 'kan menunjukkan belum ada persetujuan 90
orang di sekitarnya."
Dalam pesan tertulisnya
kepada BBC Indonesia, Kepala badan litbang dan diklat Kementerian agama, Abdul
Rahman Mas'ud mengatakan, kasus-kasus 'intoleransi' utamanya menimpa pemeluk
agama minoritas di lingkungan mayoritas.
Namun dalam
perkembangannya, "problem tidak melulu soal intoleransi beragama, tapi
karena poleksisbud (soal status tanah, soal izin, soal komunikasi, dsb)",
tulisnya.
Abdul Rahman kemudian
menambahkan, kasus intoleransi menimpa semua kalangan agama. "Di barat
Indonesia kebanyakan kasus gereja, di tengah dan timur Indonesia kebanyakan
masjid," ungkapnya.
"Bedanya, ekpose
(pemberitaan) kasus lebih pada gereja," tulis Abdul Rahman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar