Rabu, 20 Juli 2016

Perilaku Pendatang Haram (Imigran Gelap) di Kota Medan SUMUT dapat uang 1,5Jt/bln sampai jadi Gigolo

Kehidupan di Kota Medan Sumatera utara secara perlahan berubah dengan perilaku para Pendatang Haram atau Imigran Gelap yang semakin meraja lela tanpa ada kontrol dari pemerintah setempat. 
Kota Medan semakin banyak dihuni pendatang haram alias imigran gelap.
Ironisnya mereka hidup lebih mewah dari warga Medan itu sendiri. Selain dapat fasilitas, ternyata mereka pun bisa menjual diri sebagai gigolo.
Ya, hari demi hari tingkah imigran di Kota Medan makin tak terkendali. Imigran gelap pencari suaka kian meresahkan.


Jumlah mereka yang semakin banyak dan tak terdeteksi secara pasti juga membuat Pemerintah Kota Medan kebobolan. Sebab, kini mereka semakin berani muncul ke hadapan publik layaknya warga pribumi.
Banyaknya informasi yang cukup meresahkan itu membuat kami memantau aktivitas para imigran, salah satunya di kawasan Jalan Dr Mansyur, Medan.
Terlihat, para imigran tersebut mulai keluar beraktivitas mulai pukul 19.00 WIB. Sementara pagi hingga siang mereka hanya tidur di rumah penampungan.
Sesekali mereka keluar pada pagi atau siang hari untuk sekedar membeli cemilan di sekitar lokasi penampungan.
Informasi yang didapat dari pemilik cafe di kawasan Dr Mansyur, sebagian imigran gelap ini malah menjajakan dirinya sebagai gigolo yang diantar jemput pada malam hari.
“Saya dengar mereka jadi gigolo di sini. Keluarnya malam hari dijemput naik mobil mewah,” ujar pria tersebut.
Selain itu, para imigran mulai kerap terlihat jalan-jalan di Kampus USU, tempat fitness bahkan berkeliaran dengan sepeda motor tanpa menggunakan helm.
Mereka juga mulai mengincar gadis-gadis Medan yang dengan gampang tertarik pada pria hidung mancung. Bahkan berkendara tanpa menggunakan helm menerobos lampu merah layaknya koboi.
Ini baru satu tempat kawasan penampungan. Jumlah tempat penampungan imigran di Kota Medan berjumlah puluhan yang tersebar di berbagai wilayah.
Mirisnya, Pemko Medan seolah buang badan dengan situasi yang kian meruncing ini. Alasannya, Pemko Medan tak memiliki otoritas untuk menindak para imigran sebab mereka dilindungi PBB dan disetujui pemerintah pusat.
Demikian diungkapkan Sosiolog Kota Medan, Ruffino Barus. Ruffino yang sudah melakukan penelitian terhadap imigran ilegal selama 5 tahun ini menyebutkan, saat ini ada ribuan orang yang menumpang hidup di Kota Medan dan malah digaji setiap bulannya tanpa melakukan apapun.
Hal ini jelas meresahkan dan akan menimbulkan kesenjangan sosial yang cukup dalam terlebih dengan adanya benturan budaya timur dengan asing.
“Mereka digaji UNHCR/IOM Rp1,5 juta per bulan tanpa bekerja apa-apa. Jadi kalau mereka sekeluarga ada 1 suami, 1 istri, 2 anak, cuma tidur-tiduran di rumah mereka sudah punya Rp6 juta per bulan. Mereka bisa belanja makanan dan baju mewah,” kata Ruffino.
Sementara, kata Ruffino, orang pribumi bekerja sebagai tukang becak, kuli bangunan, sopir angkot bergaji tidak sampai Rp1 juta per bulan.
“Bahkan dosen pun tak segitu gajinya. Lalu tidak adakah kesenjangan sosial di sana,” kata Ruffino sambil berharap mata publik terbuka untuk memandang serius masalah ini.
Tak sampai di situ, fakta baru terungkap para imigran gelap ini sudah mulai mengawini anak-anak pribumi dengan sistem kawin kontrak, dengan menggunakan data identitas palsu, sudah punya rumah sendiri, berladang dan bahkan punya usaha laundry dan kebab mobile.
“Mereka posting di media sosial, memberitahu teman-temannya masuk Indonesia murah, mudah, enak bahkan bisa sukses punya usaha. Maka, berdatanganlah mereka dengan jumlah yang lebih banyak lagi ke negeri kita,” katanya.
Dengan tameng Konvensi Hak Azasi Manusia (HAM), Indonesia diharuskan menerima para pengungsi. Padahal secara sosial budaya masyarakat Medan khususnya remaja putri sudah mulai terpengaruh dengan keberadaan pria-pria berhidung mancung dari negara luar.
Rufino Barus mengatakan banyak imigran gelap yang berkeliaran di Medan bahkan di diskotek dan klub malam. Bahkan, pernah terjadi perkosaan terhadap perempuan di Medan oleh imigran gelap.
“Semakin lama mereka dibiarkan di Medan, semakin hancur budaya timur kita. Mereka mulai merayu anak-anak gadis kita,” katanya.
Seakan seperti dibiarkan saja oleh Pemerintah dengan berbagai alasan HAM, tapi apakah dengan alasan HAM kita akan membiarkan saja generasi kita hancur?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar