Kehidupan di Kota Medan Sumatera utara secara perlahan berubah dengan perilaku para Pendatang Haram atau Imigran Gelap yang semakin meraja lela tanpa ada kontrol dari pemerintah setempat.
Kota Medan semakin banyak dihuni
pendatang haram alias imigran gelap.
Ironisnya
mereka hidup lebih mewah dari warga Medan itu sendiri. Selain dapat fasilitas,
ternyata mereka pun bisa menjual diri sebagai gigolo.
Ya, hari
demi hari tingkah imigran di Kota Medan makin tak terkendali. Imigran gelap
pencari suaka kian meresahkan.
Jumlah
mereka yang semakin banyak dan tak terdeteksi secara pasti juga membuat
Pemerintah Kota Medan kebobolan. Sebab, kini mereka semakin berani muncul ke
hadapan publik layaknya warga pribumi.
Banyaknya
informasi yang cukup meresahkan itu membuat kami memantau aktivitas para
imigran, salah satunya di kawasan Jalan Dr Mansyur, Medan.
Terlihat,
para imigran tersebut mulai keluar beraktivitas mulai pukul 19.00 WIB.
Sementara pagi hingga siang mereka hanya tidur di rumah penampungan.
Sesekali
mereka keluar pada pagi atau siang hari untuk sekedar membeli cemilan di
sekitar lokasi penampungan.
Informasi
yang didapat dari pemilik cafe di kawasan Dr Mansyur, sebagian imigran gelap
ini malah menjajakan dirinya sebagai gigolo yang diantar jemput pada malam
hari.
“Saya
dengar mereka jadi gigolo di sini. Keluarnya malam hari dijemput naik mobil
mewah,” ujar pria tersebut.
Selain
itu, para imigran mulai kerap terlihat jalan-jalan di Kampus USU, tempat
fitness bahkan berkeliaran dengan sepeda motor tanpa menggunakan helm.
Mereka
juga mulai mengincar gadis-gadis Medan yang dengan gampang tertarik pada pria
hidung mancung. Bahkan berkendara tanpa menggunakan helm menerobos lampu merah
layaknya koboi.
Ini baru
satu tempat kawasan penampungan. Jumlah tempat penampungan imigran di Kota
Medan berjumlah puluhan yang tersebar di berbagai wilayah.
Mirisnya, Pemko Medan seolah buang badan dengan situasi yang kian meruncing
ini. Alasannya, Pemko Medan tak memiliki otoritas untuk menindak para imigran
sebab mereka dilindungi PBB dan disetujui pemerintah pusat.
Demikian
diungkapkan Sosiolog Kota Medan, Ruffino Barus. Ruffino yang sudah melakukan
penelitian terhadap imigran ilegal selama 5 tahun ini menyebutkan, saat ini ada
ribuan orang yang menumpang hidup di Kota Medan dan malah digaji setiap
bulannya tanpa melakukan apapun.
Hal ini
jelas meresahkan dan akan menimbulkan kesenjangan sosial yang cukup dalam
terlebih dengan adanya benturan budaya timur dengan asing.
“Mereka
digaji UNHCR/IOM Rp1,5 juta per bulan tanpa bekerja apa-apa. Jadi kalau mereka
sekeluarga ada 1 suami, 1 istri, 2 anak, cuma tidur-tiduran di rumah mereka
sudah punya Rp6 juta per bulan. Mereka bisa belanja makanan dan baju mewah,”
kata Ruffino.
Sementara,
kata Ruffino, orang pribumi bekerja sebagai tukang becak, kuli bangunan, sopir
angkot bergaji tidak sampai Rp1 juta per bulan.
“Bahkan
dosen pun tak segitu gajinya. Lalu tidak adakah kesenjangan sosial di sana,”
kata Ruffino sambil berharap mata publik terbuka untuk memandang serius masalah
ini.
Tak
sampai di situ, fakta baru terungkap para imigran gelap ini sudah mulai
mengawini anak-anak pribumi dengan sistem kawin kontrak, dengan menggunakan
data identitas palsu, sudah punya rumah sendiri, berladang dan bahkan punya
usaha laundry dan kebab mobile.
“Mereka
posting di media sosial, memberitahu teman-temannya masuk Indonesia murah,
mudah, enak bahkan bisa sukses punya usaha. Maka, berdatanganlah mereka dengan
jumlah yang lebih banyak lagi ke negeri kita,” katanya.
Dengan
tameng Konvensi Hak Azasi Manusia (HAM), Indonesia diharuskan menerima para
pengungsi. Padahal secara sosial budaya masyarakat Medan khususnya remaja putri
sudah mulai terpengaruh dengan keberadaan pria-pria berhidung mancung dari
negara luar.
Rufino
Barus mengatakan banyak imigran gelap yang berkeliaran di Medan bahkan di
diskotek dan klub malam. Bahkan, pernah terjadi perkosaan terhadap perempuan di
Medan oleh imigran gelap.
“Semakin
lama mereka dibiarkan di Medan, semakin hancur budaya timur kita. Mereka mulai
merayu anak-anak gadis kita,” katanya.
Seakan seperti dibiarkan saja oleh Pemerintah dengan berbagai alasan HAM, tapi apakah dengan alasan HAM kita akan membiarkan saja generasi kita hancur?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar