Selasa, 14 Februari 2012

Penolakan FPI : Belajar dari Dayak - Indonesia Tanpa FPI


Inspirasi itu datang dari suku Dayak di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Lima ribuan warga Dayak turun ke jalan menolak kehadiran Front Pembela Islam (FPI) di daerah mereka. Di spanduk tertera jelas: penolakan bukan soal agama, tapi karena FPI identik dengan kekerasan dan anarkisme. Empat pengurus FPI yang sudah tiba di bandara lantas dihadang dan diusir. Ujungnya, pembentukan FPI di Kalimantan Tengah dibatalkan.

FPI mutung, lantas menuntut pengusutan atas pengusiran ini. FPI bahkan mencoba mengaitkan urusan etnis dengan agama. FPI mengklaim telah menjadi korban serta siap melaporkan Gubernur Kalimantan Tengah karena membiarkan terjadinya kekerasan. Massa yang menolak FPI juga dianggap telah menghancurkan pilar negara: Pancasila, konstitusi, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.


Mungkin FPI dilanda lupa ingatan akut. Persis di hari kelahiran Pancasila 1 Juni 2008 lalu, massa FPI menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di sekitar Monas, ketika Aliansi tengah memprotes SKB Ahmadiyah. Tahun 2010, FPI membubarkan seminar hukum untuk waria yang digelar oleh Komnas HAM. Di tahun yang sama FPI menyerang jemaat HKBP Pondok Timur Bekasi, membongkar patung tiga mojang di Bekasi juga patung naga di kota Singkawang.

Ketika dorongan untuk membubarkan FPI semakin deras, Juru Bicara FPI justru balik mengancam: pemerintah bakal digulingkan jika berani membubarkan FPI. Setelah itu, kekerasan yang dilakukan FPI seperti tak mengenal rem: markas dan warung makan milik Ahmadiyah dibakar sampai memprovokasi sekolah untuk tidak menghormati bendera merah putih.

Jadi siapa yang sebetul-betulnya pelaku aksi kekerasan? Siapa yang tengah menghancurkan bangsa ini?

Sehari setelah aksi luar biasa Suku Dayak, lahirlah “Gerakan Indonesia Tanpa FPI”. Visinya satu: menolak kekerasan atas nama apa pun – FPI salah satunya. Aksinya digelar hari ini lewat petisi yang mengecam negara lantaran tak tegas menindak aksi kekerasan FPI. Setumpuk kasus kekerasan yang dilakukan preman berjubah ini nyatanya dirasa tak cukup sebagai amunisi untuk membubarkan kelompok yang dideklrasikan pada 17 Agustus 1998 lalu ini.

Untuk soal seperti ini, yang waras dilarang mengalah. Justru mesti bersuara keras, mencegah keabsurdan versi FPI yang menggerogoti bangsa ini. Kekerasan memang tak hanya milik FPI, tapi rasanya tak ada yang membantah kalau FPI adalah kekerasan. Rakyat butuh pemerintah yang kuat dan sanggup bertindak tegas. Kita sebagai warga negara pun harus waras dan berani – seperti saudara kita dari Dayak - untuk menolak negara ini dikangkangi kekerasan.

Selamat Hari Kasih Sayang. Mari kita rayakan dengan merajut lagi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika.

Happy Valentine Days All.

Sumber : http://www.kbr68h.com/berita/wawancara/19496-belajar-dari-dayak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar